Selasa, 11 Januari 2011

Pinjaman Luar Negri Sebagai Sumber Pembiayaan Pembangunan yang Riskan

Selasa, 11 Januari 2011 6
Sumber dana pembiayaan pembangunan yaitu utang dan bantuan lura negeri. Sesuai amanat dari GBHN bahwa tingkat utang luar negeri perlu dikurangi, pembahasan ini lebih memfokuskan pada analisis terhadap utang luar negeri berikut permasalahan dan agenda ke depannya.
Jika dilakukan perbandingan negara-negara berkembang Asia lainnya dan beberapa negara Amerika Latin tahun 1987-2000, pada dasarnya Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang menghadapi masalah luar negeri. Dalam hal stok terhadap PDB pada tahun 2000, Indonesia tergolong paling besar namun dalam hal beban pembayaran terhadap ekspor barang dan jasa, Indonesia tidaklah sebesar Argentina dan Brazil. Bahkan stok utang luar negeri Indonesia sudah mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Negara yang menghadapi masalah pembayaran luar negerinya cenderung mengalami gangguan ketidakseimbangan eksternal (external imbalances). Masalah akibat ketidakseimbangan eksternal tidak hanya dihadapi oleh Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari masih banyaknya negara yang menjadi pasien IMF sehingga perlu mendapatkan kucuran dana dari lembaga keuangan internasional tersebut.
Permasalahan utang luar negeri sekarang telah menjadi fokus perhatian utama meski pada awalnya sendiri utang luar negeri seperti dimanatkan oleh GBHN tahun 1973 hanya sebagai pelengkap dan pembantu akan tetapi dalam perjalanannya telah terjadi penumpukan stok utang luar negeri yang relatif tinggi. Posisi utang yang sudah tinggi tersebut membawa konsekwensi logis pada beban pembayarannya.
Melemahnya nilai tukar rupiah juga menyebabkan kewajiban pembayaran utang dalam rupiah menjadi meningkat secara tajam, sementara ketersediaan dana luar negeri semakin sulit. Bagi sektor swasta, melemahnya nilai tukar rupiah mengakibatkan sektor ini harus menyediakan rupiah lebih besar untuk pembelian valas dalam rangka
Pembayaran kembali utang luar negerinya. Beban pembayaran menjadi semakin berat karena keperluan pembayaran utang yang sudah jatuh tempo telah meningkatkan permintaan terhadap mata uang dolar Amerika yang otomatis semakin menekan nilai tukar rupiah.
Selain masalah pembayaran kembali, dengan utang yang besar juga harus disadari kerentanannya terhadap segala gejolak dari luar seperti halnya pada waktu terjadi naiknya bunga internasional (pada awal tahun 1980an), turunnya harga komoditi andalan ekspor dan seperti yang terjadi pada pertengahan 1997 yaitu exchange over yang diikuti dengan perpindahan modal (capital movement).
Permasalahan lainnya adalah rendahnya kualitas proyek yang sudah dibangun dari pendanaan utang luar negeri, dimana bangunan yang terbengkalai, terjadinya pembangunan yang tidak merata, disertai masih rendahnya kualitas sumber daya manusia termasuk pemahaman terhadap pentingnya masalah kesehatan dan kebersihan. Dengan demikian dapat dikatakan dana pembangunan yang sebagian besar ditopang oleh pinjaman luar negeri tidak optimal pemanfaatannya. Meskipun tingkat penyerapan (disbursement ratio) menunjukkan angka yang tinggi namun tidak selalu mencerminkan kualitas proyek yang sudah dibangun
Ukuran efektifitas lainnya yaitu progress variant. Dengan semakin kompleknya masalah yang dihadapi setelah krisis, otomatis semakin banyak proyek yang progress variannya negatif cukup besar. Hal itu menyebabkan beban pada kewajiban commitment fee dari sejumlah dana yang belum/tidak diserap (undisbursed balance). Sejak krisis jumlah proyek yang telah menjadi commitment dalam CGI tidak banyak yang dapat direalisasikan. Kecilnya realisasi terhadap commitment proyek baru berkaitan dengan persyaratan yang diajukan oleh donor semakin ketat, dimana besar kecilnya commitment lembaga donor tergantung keberhasilan Indonesia dalam memenuhi persyaratan. Persyaratan yang cukup menonjol adalah penyusunan on lending policy dan pelaksanaan fiduciary control yang pada intinya adalah perbaikan proses pengadaan barang dan jasa (proqurement process) yang lebih transparan.
Penyelesaian utang pemerintah telah dilakukan melalui forum Paris Club I, II, III, dan London Club. Beberapa kalangan berpendapat bahwa penyelesaian masalah utang pemerintah melalui Paris Club hanya merupakan solusi jangka pendek atau mengurangi defisit anggaran pemerintah jangka pendek. Beberapa kalangan termasuk LSM mengharapkan untuk selanjutnya perlu dijajaki peluang solusi yang lain seperti mendapatkan hair cut atau debt conversion guna mengurangi tekanan pembayaran ke depan sehingga mencapai tingkat debt service sustainable. Namun perlu dipahami bahwa keberhasilan mendapatkan rescheduling bukan persoalan yang sederhana, karena harus mengikuti ketentuan dan prisip yang harus disetujui oleh seluruh anggota Paris Club.
Berdasarkan pengalaman yang panjang, jika pinjaman tidak direncanakan secara matang dan benar-benar sesuai dengan kebutuhan, tidak dialokasikan secara tepat sasaran dan tidak dimanfaatkan secara efisien, maka PLN akan menimbulkan masalah besar dan bahkan menyebabkan fiscal unsustainable. Sejalan dengan amanat GBHN 1999 bahwa Indonesia harus meningkatkan kemampuan pengelolaan dana pinjaman luar negeri dengan tujuan akhir adalah mencapai kemandirian dalam pembiayaan pembangunan. Oleh karena itu manajemen utang luar negeri harus diperbaiki bahkan diubah unt

uk meningkatkan optimalisasi pemanfaatannya dan dikontrol sampai pada level yang aman.
 
WRITE YOUR "OWN" ◄Design by Pocket, BlogBulk Blogger Templates